LAPORAN PENELITIAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT CIKONDANG MENGHADAPI MODERNISASI | ANTROPOLOGI KOMUNIKASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebudayaan adalah sebuah konsep yang bersifat
universal. Herkovits memandang bahwa kebudayaan sebagai super-organic karena kebudayaan yang turun menurun dari generasi ke
generasi tetapi hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota
masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan oleh kematian dan kelahiran. [1]
Menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik dari manusia yang belajar. [2]
Sebagai sebuah kesatuan yang utuh, kebudayaan
suatu masyarakat tidak pernah terlepas dari kebisaaan-kebisaaan yang seringkali
di lakukan oleh anggota dari masyarakat itu sendiri. Segala aspek kehidupan
merupakan unsur dari kebudayaan. Misalnya, sistem mata pencaharian, sistem
religi (Agama), bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi, dan rumah atau bangunan.
Kebudayaan
Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua.
Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, Kebudayaan Sunda
termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal
pengenalan terhadap budaya tulis.
Menurut
Kamus Bahasa Indonesia pengertian kampung adalah desa, dusun atau kelompok
rumah-rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya rumah-rumahnya kurang
bagus. Kampung dalam pengertian kampung adat, mengacu kepada kelompok
tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat. Kampung Adat merupakan suatu
komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dan
merupakan satu kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama
melaksanakan kegiatan sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu sistem budaya.
(Surpha dalam Pitana 1994: 139). Selanjutnya, dengan mengacu kepada berbagai
batasan yang diberikan terhadap Kampung Adat, disimpulkan ciri-ciri desa adat
sebagai berikut (Pitana, 1994:145) : 9
a.
Mempunyai
batas - batas tertentu yang jelas. Umumnya berupa batas alam seperti sungai,
hutan, jurang, bukit atau pantai.
b.
Mempunyai
anggota dengan persyaratan tertentu.
c.
Mempunyai
rumah adat yang mempunyai fungsi dan peranan.
d.
Mempunyai
otonomi, baik ke luar maupun ke dalam.
e.
Mempunyai
suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat) sendiri.
Penelitian
yang telah kami lakukan pada tanggal 14 Mei 2016 ke Kampung Adat Cikondang yang
bertempat di Ds. Lamajang, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung ini merupakan sebuah
penelitian untuk meninjau keadaan kultural pada masyarakat Kampung Adat
Cikondang. Banyak hal yang didapatkan dari kunjungan kali ini. Semuanya
menyangkut kebudayaan pada masyarakat tersebut. Oleh karena itu, kami membuat
laporan penelitian ini dengan tujuan hendak mengungkap kembali dan
menggambarkan keadaan dari kehidupan masyarakat pada Kampung Adat Cikondang
namun lebih di fokuskan pada pembahasan Rumah Adat dari Kampung Cikondang itu
sediri berdasarkan aspek Antropologi dengan
judul penelitian: “RUMAH ADAT KAMPUNG CIKONDANG YANG SARAT AKAN FILOSOFI”.
1.2
Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah dari Kampung Cikondang?
b. Bagaimana deskripsi arsitektur dari Rumah
Adat Cikondang?
c. Apa filosopi dari Rumah Adat Cikondang?
1.3
Tujuan
a. Untuk menjelaskan sejarah dari Kampung Cikondang
b. Memaparkan deskripsi dari arsitektur Rumah
Adat Cikondang
c. Memaparkan filosopi dari Rumah Adat Cikondang
d. Memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
Antropologi
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Pustaka
Penelitian
mengenai Rumah adat Cikondang sudah cukup banyak, masih belum ditemukan tentang
penelitian lebih lanjut yang berupa buku, kebanyakan penulisan hanya sebuah
artikel-artikel singkat seperti:
http://travel.kompas.com/read/2013/11/22/1655115/Kampung.Adat.Cikondang.Merawat.yang.Tersisa
hasil penulisan Dwi Asetianingsih dengan judul tulisan Kampung Adat Cikondang,
Meawat yang tersisa.
Artikel
ini menjelaskan sejarah serta bentuk tata ruang dari Rumah Adat Cikondang.
Masih
banyak lagi artikel-artikel yang menjelaskan Rumah Adat Cikondang namun,
artikel diatas yang kami jadikan sebagai referensi.
2.2
Kerangka Pemikiran
a. Teori
Fenemonologi
Teori Fenomenologi Fenomenologi berasal dari
bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada
‘yang menampak’. Istilah ini diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah
fenomenologi apabila dilihat lebih lanjut berasal dari dua kata yakni;
phenomenon yang berarti realitas yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka
fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan
penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno menyebutkan bahwa
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna
dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai
dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain).[3]
b. Teori
Sibolisme
Dalam bidang kebudayaan
arti penting simbolisme semakin diakui oleh para peneliti. Bagaimanapun
besarnya perbedaan gaya hidup dan struktur sosial suku-suku dan bangsa-bangsa,
semuanya mendiami apa yang dapat disebut didunia simbolis. Makan, dan minum,
memasak, membersihkan, fungsi-fungsi tubuh semuanya dilakukan di dalam konteks
hubungan sosial yang lebih luas yang diungkapakan dalam kata-kata, gerak-gerik
dan tata cara. “Masyarakat” meliputi nenek moyang yang sudah meninggal, roh-roh
yang baik dan jahat, serta kaum kerabat dan anggota suku-suku lainnya. Melalui
bentuk-bentuk simbolis kesejahteraan suku dapat dipelihara dan kebutuhan
individu yang bersifat jasmani dilampaui.[4]
BAB III
PROSES PENELITIAN
3.1
Metode Penelitia
Metode
penelitian yang kami gunakan dalam
penelitian kampung adat Cikondang adalah berbagai metode kualitatif, yaitu:
a. Observasi Partisipasi (participant observation)
Observasi Partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan
dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.[5]
b.
Wawancara
Terstruktur
Wawancara merupakan percakapan antara
dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan
dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi di mana sang pewawancara
melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang diwawancarai.
Wawancara terstruktur ini digunakan sebagai
teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui
dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Dalam prakteknya selain
membawa instrument sebagai pedoman wawancara, maka pengumpul data juga dapat
menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur dan amterial lain
yang dapat membantu dalam wawancara.5
3.2
Profil Informan
Nama: Ilin Dasyah
Umur: 73
Agama: Islam
Alamat: Desa Lamajang
Pekerjaan: Kokolot Kampung
Gambar 1. Photo Abah Ilin Dasyah
(sumber: Dokumen Pribadi)
Nama: Aki Ajo
Nama: Aki Ajo
Umur:-
Agama: Islam
Alamat:
Desa Lamajang
Pekerjaan
: Pengurus Rumah Adat, Petani
Gambar 2. Photo Aki Ajo
(sumber: Dokumen Pribadi)
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN
4.1
Pembahasan
4.1.1
Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan masyarakat. Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Herskovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett
Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang
akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
4.1.2
Rumah Adat
Budihardjo (1994:57) rumah adalah aktualisasi
diri yang diejawantahkan dalam bentuk kreativitas dan pemberian makna bagi
kehidupan penghuninya. Selain itu rumah adalah cerminan diri, yang disebut
Pedro Arrupe sebagai ”Status Conferring Function”, kesuksesan seseorang
tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.
Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki cirikhas
khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu.Rumah
adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam
sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat
beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan
kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban.
Rumah-rumah adat di indonesia memiliki bentuk
dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah
adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran
indah, pada jaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para
keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan
pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya,
Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja
dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.
4.1.3
Tradisi
Tradisi adalah sesuatu yang
dilakukan secara berulang-ulang serta merupakan kegiatan yang dilakukan secara
turun-menurun dan dianggap cara-cara yang baik dan benar.
4.2
Analisis Hasil Penelitian
4.2.1
Sejarah Kampung Adat Cikondang
Konon nama Cikondang sendiri disinyalir
berasal dari nama sebuah pohon yang tumbuh dan menjadi pusat mata air
perkampungan. Kata cai yang berasal dari Bahasa Sunda,
memiliki arti air. Sedang kata Kondang merupakan nama sebuah jenis pohon yang
terdapat di sungai tersebut. Jika diartikan secara menyeluruh, kata Cikondang
dapat diartikan sebagai sumber mata air yang ditumbuhi pohon Kondang.
Untuk menyatakan kapan dan siapa yang
mendirikan kampung Cikondang sangat sulit untuk dipastikan. Namun, masyarakat
meyakini bahwa karuhun (Ieluhur) mereka
adalah salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Mereka memanggilnya dengan sebutan Uyut Pameget dan Uyut Istri yang diyakini
membawa berkah dan dapat ngauban
(melindungi) anak cucunya.
Tidak
ada bukti konkrit yang menerangkan kejadian itu, baik yang tertulis maupun
lisan. Menurut perkiraan seorang tokoh masyarakat, Rumah Adat diperkirakan
telah berusia 200 tahun. Jadi, diperkirakan Uyut Pameget dan Uyut Istri
mendirikan pemukiman di kampung Cikondang kurang Iebih pada awal abad ke-XIX
atau sekitar tahun 1800. Jangan
membayangkan banyak rumah berarsitektur tradisional berderet dalam perkampungan
ini. Tidak seperti Kampung Adat Cisitu yang berada di Banten atau Kampung Naga
di Tasikmalaya, Kampung Adat Cikondang kini hanya menyisakan tiga buah bangunan
rumah adat, yang biasa disebut Rumah Adat dan dua buah bangunan serupa yang
biasa disebut pasean (makam). Pada beberapa hari tertentu, pasean ini akan
ramai dikunjungi para peziarah.
Bukan tanpa alasan kampung adat ini
kini hanya menyisakan beberapa bangunan. Pada tahun 1942, kebakaran hebat telah
memrumahhanguskan kampung adat ini. Menurut cerita yang masih dituturkan oleh
Ilin Darsyah, saat itu kebakaran telah merenggut banyak bangunan di
perkampungan. Hanya beberapa bangunan rumah yang selamat. Itulah yang kini
dilestarikan dan dijadikan cagar budaya. Bangunan tersebut diberi nama rumah
adat. Bangunan peninggalan megahnya Kampung Adat Cikondang.
4.2.2
Letak Geografis Kampung Adat Cikondang
Kampung adat Cikondang secara
administratif terletak di dalam wilayah desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan,
Kabupaten Bandung. Kampung Cikondang ini berbatasan dengan desa Cikalong dan
desa Cipinang ( Kecamatan Cimaung) di sebelah Utaran, dengan desa Pulosari di
sebelah Selatan, dengan desa Tribakti Mulya di sebelah Timur, serta di Sebelah
Barat berbatasan dengan desa Sukamaju. Jarak dari pusat kota Bandung ke kampung
adat Cikondang ini sekitar 38 km, sedangkan dari pusat kecamatan Pangalengan
sekitar 11 km. Dari kota Bandung ke arah
Selatan melewaati kecamatan Banjaran dan kecamata Cimaung.
Jarak dari ruas jalan Bandung sampai
Pangalengan yang berada di wilayah kampung Cibiana ke kampung Cikondang 1 km.
Sedangkan dari jalan komplek perkantoran PLTA Cikalong, melewaati bendungan
dengan tangga betonnya, selanjutnya melalui kantor desa Lamajang sekitar 1,5
km.
4.2.3
Deskripsi Arsitektur Rumah Adat
Cikondang
Gambar 4. Photo Bumi adat Cikondang
(Sumber: Dokumen Pribadi)
Pembangunan rumah adat tidak terlepas
dari seni arsitektur, karena telah sejak zaman dahulu, kemampuan seni manusia
telah muncul, temasuk seni pembangunan rumah yang syarat akan seni dan
filosofi.
Rumah adat ini berbentuk persegi
dengan bantalan batu alam yang murni batu alam yang diambil dari sungai tanpa
dibentuk atau melalui polesan sedikitpun.
Rumah ini mempunyai kaki yang terbuat dari kayu yang dibentuk sama
besar, sehingga rumah ini disebut rumah panggung.
Gambar 3. Photo Jendela dengan
sembilan sekat
(Sumber: Dokumen Pribadi)
Rumah adat ini
memiliki satu buah pintu dan lima buah jendela yang masing-masing jendela
memiliki sembilan sekat. Di dalamnya terdapat
dua kamar. Satu kamar untuk juru kunci (kuncen), satu lagi untuk menyimpan
beras yang disebut goah.
Bagian rumah lain
terdiri atas ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Dapur hanya digunakan
untuk menanak nasi. Di dalam Rumah Adat tidak banyak terdapat perlengkapan
rumah tangga, kecuali lemari dan sejumlah peralatan makan dan minum untuk
menjamu tamu. Seluruh peralatan terbuat dari seng, sedangkan gelas terbuat dari
tanah liat. Tidak terdapat barang-barang pecah seperti piring yang terbuat dari
beling atau porselen.
Sebagai bentuk
penghormatan, setiap orang yang akan masuk diharuskan melangkah lebih dulu
dengan kaki kanan. Dilarang untuk menginjak “Bangbarung” atau pembatas yang
terletak dibawah pintu masuk. Kita diharuskan untuk masuk hanya dengan tiga
langkahan kaki. Langkah petama dengan kaki kanan menginjak tangga paling bawah
yang terbuat dari susunan bambu. Langkah kedua dengan kaki kiri menginjak teras
bambu, dan langkahan kaki ketiga yaitu kaki kanan yang harus langsung melangkah
kedalam rumah.
Di bagian luar Rumah
Adat terdapat bangunan berukuran lebih kecil yang menempel pada bangunan induk.
Bangunan tersebut disebut bale-bale. Fungsinya untuk menyimpan berbagai bahan
makanan.
Di luar bale-bale
terdapat dapur yang biasa digunakan warga untuk memasak. Para ibu menggunakan
dapur itu saat mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu atau ritual khusus,
seperti ritual 15 Muharam.
Tidak jauh dari bale-bale terdapat lumbung padi.
Tidak jauh dari bale-bale terdapat lumbung padi.
Gambar 4. Tempat
Pemandian
(Sumber: Dokumen Pribadi)
Sementara tempat
mandi terletak sekitar 2 meter dari Rumah Adat. Pada tempat mandi tersebut
terdapat pancuran yang airnya tidak pernah surut.
Gambar 5. Kandang
Ayam
(Sumber: Dokumen Pribadi)
Di belakang rumah
adat tesebut terdapat kandang ayam, yang pada saat ini digunakan hanya pada
waktu-waktu tertentu, yaitu untuk menyimpan ayam kampung yang akan disembelih
ketika upacara Uku Taun.
“Bumi Adat tidak
boleh diubah. Istilahnya panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh
disambung. Tata cara adat, ukuran, dan bentuk rumah tidak boleh diubah,” kata
Abah Iih. Bukan berarti
Bumi Adat tidak boleh direvitalisasi. Pada 1995 dan tahun 2010, rumah itu
direvitalisasi oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dengan dana Rp 170 juta.
“Yang diganti adalah
dinding dan atap, serta bambu-bambu yang dibelah sebagai ganti genteng,” kata Abah
Ihin Bagian dinding rumah yang berusia 300 tahun tetapi dalam kondisi baik
dipertahankan.
Perawatan rutin
dilakukan lima juru rawat Bumi Adat. Salah satunya, Ajo (56), mengatakan,
perawatan dilakukan setiap hari secara bergantian.
”Debu-debu dibersihkan, lantai disapu dan dipel. Kami mengurus seluruh lingkungan Bumi Adat dan menggarap sawah,” kata Aki Ajo.
”Debu-debu dibersihkan, lantai disapu dan dipel. Kami mengurus seluruh lingkungan Bumi Adat dan menggarap sawah,” kata Aki Ajo.
4.2.4
Filosofi Desain Bangunan Rumah Adat
Desain rumah adat dengan gaya arsitektur tradisional ini tidak hanya
sekedar sesain semata, bahkan desain bangunan ini mengandung nilai-nilai
filosofi yang tinggi.
Rumah adat ini seolah-olah diwujudkan sebagai manusia yang memiliki sirah ( kepala), taktak (bahu), awak
(badan), suku (kaki) serta jantung.
Dengan ateup (atap) yang dibalut ijuk pengganti genteng yang diibaratkan
sebagai sirah (kepala) yang berfungsi
untuk menaungi awak (badan) rumah.
Bagian selanjutnya adalah taktak (pundak)
yang terbuat dari kayu kokoh sebagai penyangga sirah dan pembatas antara sirah
dan awak.
Bagian pokok bangunan adalah awak (badan) yang terbuat dari bilik
atau anyaman bambu yang sudah ada sejak abad ke 17. Pada bagian badan
terdapat satu pintu yang terbuat dari
kayu, rumah adat ini hanya memiliki satu pintu karena difilosopikan sebagai
Tuhan Yang Maha Esa. Di sisi badan terdapat lima buah jendela yang mengandung
filosofi lima rukun iman. Masing-masing jendela memiliki sembilan sekat yang
terbuat dari kayu. Sembilan sekat tersebut difilosofikan sebagai sembilan Wali
Songo.
Dan bagian yang terakhir dari Rumah Adat ini adalah suku (kaki) yang
terbuat dari kayu kokoh yang difilosofikan sebagai pondasi dan dialaskan batu
alam.
4.2.5
Larangan-larangan Rumah Adat Cikondang
Seperti
rumah-rumah adat yang lainya, rumah adat Cikondang pun memiliki berbagai
larangan yang tidak boleh dilakukan ketika berada atau akan memasuki daerah
rumah adat, yaitu sebagai berikut:
a. Terdapatnya hari terlarang untuk masuk ke
area rumah adat yaitu pada hari Selasa, Jum’at dan Sabtu. Tidak terdapat alasan
mengapa terdapatnya hari-hari terlarang, yang jelas itu merupakan larangan
turun-menurun.
b. Dilarang masuk kedalam rumah adat jika tidak
didampingi oleh Kuncen.
c. Dilarang menanam tanaman lain selain yang
telah tumbuh dan tumbuh secara alami.
d. Dilarang masuk ke hutan larangan tanpa seizin
kuncen.
e. Dilarang masuk hutan larangan dengan memakai
alas kaki.
f. Tanaman yang telah tumbuh sejak dahulu dilarang
untuk dipotong atau diatur sedemikian rupa, semuanya harus dibiarkan tumbuh
alami sebagai mana adanya.
g. Dilarang ke area rumah adat bagi wanita yang
sedang berhalangan, karena area tersebut dianggap suci.
h. Diarang duduk selonjoran, dikarenakan
disebelah selatan terdapat makam leluhur. Karena menurut kepercayaan masyarakat
setempat hal tersebut dianggap sangat tidak sopan.
i.
Dilarang
berziarah ke makam leluhur (Uyut Pameget dan Uyut Istri serta Buyut-buyut
lainya) selain dihari kamis dan harus diatas jam 10 malam.
j.
Dilarang
tidur dengan posisi kepala di sebelah kaler (Utara) karena menyerupai orang
meninggal.
k. Dilarang membuang air kecil atau besar
menghadap Selatan.
l.
Dilarang
minum/makan menggunakan alat-alat selain alat yang terdapat di dalam rumah
adat.
m. Dilarang berbicara kasar dan kata-kata yang
tidak pantas diucapkan.
4.2.6
Tradisi Cikondang
Terdapat tradisi yang masih kental
di kampung ini, dan masih dipatuhi sampai saat ini. Seperti kuncen yang hanya
boleh di pegang oleh satu turunan keluarga, terutama dari turunan keluarga
laki-laki. Dan hingga sekarang terdapat sembilan generasi yang menjadi juru
kunci. Berikut daftar ke sembilan juru kunci :
1. Mama Sepuh
2. Mama akung
3. Anom Idil
4. Anom Rukman
5. Anom Rumyah
6. Anom Emen
7. Anom Darman
8. Anom Asom
9. Anom Juhana
Selain tradisi juru kunci turun temurun, terdapat tradisi
lain yang tidak kalah unik yaitu upacara Uku Taun yang dilakukan pada tanggal
15 Muharam sebagai wujud syukur atas hasil panen.
Seperti juru kunci yang turun temurun, begitu pun dengan
petugas-petugas dalam mengurus prosesi upacara ini, yaitu setiap pekerja
merupakan orang yang turun temurun, tidak boleh digantikan oleh keturunan lain.
Pengurus upacara juga tidak boleh mengurusi petugas lain, mereka hanya
dibolehkan untuk mengurus tugasnya sendiri karena ditakutkan akan “pacorok kokod”. Seperti, pemasak sayur,
pemasak nasi, pencari daun untuk pengganti piring, dan lain-lain. Uniknya, setiap kali memasak, pemasak tidak
boleh mecicipi masakan tersebut, pemasak hanya dianjurkan mencium aroma
masakannya, terkadang masakan itu terlalu asin, terlalu manis bahkan hambar.
Masyarakat setempet percaya bahawa hasil masakan rasa masakan yang tidak
dicicipi mengandung makna dijadikan “prediksi” untuk tahun selanjutnya.
Kampung ini masih kental dengan sesajen dan hal-hal yang
berbau mistis, contohnya penggunaan kemenyan dan bunga-bungaan untuk
penghormatan kepada leluhur.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Kebudayaan
merupakan warisan leluhur yang sangat penting, karena kebudayaan akan menjadi
suatu identitas diri dari suatu masyarakat. Begitupun dengan rumah adat yang
sangat sarat akan filosofi dan sejarah.
Rumah adat Cikondang
dengan arsitekturnya yang unik, pembuatan rumah tidak hanya mengutamakan seni
dan keindahan, disamping itu, rumah adat ini memiliki ragam makna dan filosofi
yang terkandung.
5.2 Saran
a.
Jaga
selalu kelestarian warisan leluhur yang masih ada.
b.
Jadikan
kebudayaan menjadi sesautau jati diri yang membanggakan.
c.
Jaga
eksistensi kebudayaan itu, jangan sampai hanya tinggal sejarah.
d.
Kita
selaku Mahasiswa Komunikasi sudah seharusnya memberikan kontribusi nyata,
sesuai dengan apa yang kita pelajari. Contohnya dengan mengangkat nilai-nilai
budaya ke muka khalayak.
e.
Jadikan
kebudayaan menjadi sesuatu yang harus dipelajari.
[1]
Soerjono Soekanto, 2006: 150
[2]
Koentjaraningrat, 2009: 144
[5]
https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/penelitian-kualitatif-metode-pengumpulan-data/
Penelitian Kualitatif (Metode Pengumpulan Data) Rabu, 8/3/2016 3:08
Comments
Post a Comment