Dalam 15 tahun terakhir, Jody Brotosuseno sudah mencoba berbagai usaha. Peruntungan berbuah di usaha kuliner dengan merek dagang Waroeng Steak and Shake. Kini, ia punya 50 gerai Waroeng Steak and Shake di sejumlah kota.
Ia juga memiliki belasan gerai
untuk unit usaha lainnya. Paling sedikit 1.000 pekerja mendapatkan
kegiatan sekaligus penghasilan dari seluruh unit usahanya.
Pencapaiannya hari ini tentu tidak
diraih dalam semalam. Bersama istrinya, Siti Handayani alias Aniek, Jody
berkali-kali merasakan jatuh bangun berbisnis. Hal itu bukan hal mudah
karena modal mereka terbatas dan belum ada investor pada awal membangun
usaha.
Jody Brotosuseno tidak berasal dari keluarga yang sederhana
Memang banyak orang pada awalnya tidak akan percaya Jody bekerja keras membangun bisnis. Hal itu tidak lepas dari latar belakang keluarganya, pemilik jaringan restoran Obonk Steak and Ribs.
Meski ayahnya, Sugondo, pemilik
jaringan restoran yang punya lebih dari 60 gerai itu, Jody tidak
mendapat perlakuan istimewa. Ia menerima gaji sebagai pegawai biasa di
jaringan restoran tersebut. Apalagi Jody bertekad Mandiri sejak menikahi Aniek pada 1998.
Dengan gaji itu, Jody dan Aniek
tahu mereka butuh pendapatan lebih baik. Dengan ijazah terakhir
setingkat SMA, sangat sulit mendapat peluang kerja jika harus melamar ke
tempat lain. Jody dan Aniek akhirnya membulatkan tekad menjadi
pebisnis. Agar bisa fokus, mereka sepakat meninggalkan bangku kuliah.
Jody meninggalkan pendidikannya pada Jurusan Arsitektur, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, pada semester delapan.
Sambil bekerja di Obonk, Jody
mencoba berjualan aneka makanan. Awalnya berjualan susu segar, lalu roti
bakar dan jus buah. Namun, bisnis itu terpaksa berhenti karena
peralatannya banyak diambil orang.
Jody juga berjualan kaus partai
politik. Pada Pemilu 1999, jumlah partai membengkak dari tiga menjadi 48
partai. Jody melihat peluang itu dan memanfaatkan dengan berjualan kaus
berlambang partai politik. Hasil penjualan, antara lain, digunakan
untuk mengontrak rumah di kawasan Demangan, Yogyakarta.
Selepas pemilu, Jody dan Aniek
berpikir lagi mencari tambahan. Kelahiran anak pertama, Yuga Adiaksa,
membuat kebutuhan bertambah. Akhirnya pasangan itu memutuskan berjualan
steik, seperti yang sudah dilakukan keluarga Jody. Namun, pasangan itu
tidak meniru konsep Obonk Steak.
Mereka memilih mahasiswa dan
pelajar sebagai target pasar. Untuk merek usaha, mereka memilih nama
Waroeng Steak and Shake. Gerai pertama dibuka di teras rumah
mereka karena tidak ada dana untuk menyewa tempat. ”Saya pilih istilah
warung untuk menegaskan pesan makan steik di sini tidak mahal,” ujar
Jody seperti dilansir Harian Kompas.
Namun, mereka terbentur modal untuk
memulai usaha. Kala itu, Jody dan Aniek hanya punya uang Rp 100.000.
Akhirnya, Jody menjual motor dan hasilnya dipakai untuk modal awal
Waroeng Steak. Ketika baru mulai, Jody mengurus dapur dan melayani
pembeli, sementara Aniek menjadi kasir. Namun, warung itu tidak langsung
ramai. ”Pernah sehari cuma dapat bersih Rp 30.000,” ujarnya.
Pembeli masih sepi, antara lain
karena warung itu belum terkenal. Selain itu, masyarakat juga masih
menganggap steik makanan mahal. ”Pembeli memberi masukan agar warung
saya lebih disukai. Saya dengar masukan mereka,” ujarnya.
Jody membuat spanduk besar dengan
warna mencolok di depan gerainya. Di spanduk dicantumkan harga steik
yang murah. Ia juga mempromosikan warungnya lewat selebaran. Tidak butuh
lama, warung Jody mulai ramai pembeli dari kalangan mahasiswa dan
pelajar. ”Malah kami mulai kewalahan,” ujarnya.
Kerja Keras!
Kala itu, Waroeng Steak and Shake
baru punya 10 hotplate dan lima meja. Saat ramai, tak jarang pembeli
terpaksa menunggu meja kosong. Bahkan, Jody beberapa kali terpaksa
mengambil hotplate setelah pembeli selesai makan tetapi masih duduk di
meja. Sebab, hotplate akan dipakai untuk memenuhi pesanan pembeli lain.
Pelan-pelan, Jody menambah
peralatan. Ia juga merekrut pegawai untuk melayani pembeli yang semakin
banyak. ”Setahun sejak buka di Demangan, kami membuka satu cabang lagi,”
ujarnya.
Untuk pembukaan gerai kedua, Jody
mengajak kerabat dan temannya menanam modal dengan pola bagi hasil. Pola
itu dipakainya sampai gerai kedelapan. Di gerai kesembilan dan
seterusnya, Jody mendanai sendiri. ”Asal bisa menyesuaikan inovasi
dengan kebutuhan pasar, bisa berkembang terus. Masukan pelanggan selalu
kami perhatikan,” tuturnya.
Masukan pembeli tetap diandalkan
dalam pertimbangan pengembangan usaha. Menu-menu baru dihadirkan untuk
menyesuaikan permintaan pelanggan. Meski bermerek Waroeng Steak and
Shake, gerai-gerai Jody juga menyediakan menu dengan bahan utama nasi.
Padahal, steik biasanya disantap dengan kentang goreng.
Saat Waroeng Steak and Shake
semakin berkembang, Jody kembali membuat keputusan untuk berkonsentrasi
penuh. Ia tinggalkan Obonk agar bisa sepenuhnya mengurus Waroeng Steak
and Shake. Sejak 2002, ia fokus mengembangkan Waroeng Steak and Shake
yang terus menambah gerai.
Konsentrasinya membawa hasil
menggembirakan. Kini, ia mengelola 50 gerai Waroeng Steak and Shake di
sejumlah kota. Ia juga membuka gerai aneka makanan dengan bendera
Festival Kuliner. Bisnis kulinernya dilengkapi dengan Waroeng Penyetan
dan Bebaqaran serta delapan gerai waralaba merek lain. Ia juga merambah
bisnis olahraga dengan membuka arena futsal.
Meski yakin pasar Indonesia masih
terbuka sangat luas, Jody sudah mulai mempersiapkan ekspansi ke luar
negeri. Untuk pasar luar negeri, Waroeng Group akan menggunakan pola
waralaba. ”Untuk pengembangan pasar Indonesia, kami berusaha dikelola
sendiri dengan dana sendiri,” ungkapnya.
Wajar ia yakin bisa mendanai
sendiri pembukaan gerai baru. Dalam salah satu kuliah umum di Yogyakarta
terungkap, salah satu gerainya di Yogyakarta beromzet rata-rata Rp 500
juta per bulan. Padahal, ia mengoperasikan puluhan gerai.
Namun, tidak semua dinikmati
sendiri oleh Jody. Salah satu gerainya di kawasan Gejayan, Yogyakarta,
didedikasikan untuk kegiatan amal. Seluruh keuntungan dari gerai itu
dipakai untuk mendanai rumah
Tahfidz, pesantren penghafal Al Quran dengan santri hampir 2.000 orang.
Selain dari gerai itu, Jody juga menyumbangkan sebagian keuntungan dari
unit usaha lainnya untuk mendanai tujuh rumah Tahfidz yang dikelolanya.
”Saya dibantu teman-teman, tidak menanggung sendiri,” ujarnya merendah.
Jody memang selalu tampak bersahaja dan merendah. Jika bertemu sepintas, sama sekali tidak terlihat sosok orang muda pemilik bisnis beromzet puluhan miliar rupiah per bulan. Bisnis yang dibangun dengan kerja keras sendiri, bukan warisan. Kerja keras dalam 12 tahun mengantarnya dari pemuda yang batal jadi arsitek tetapi menjadi raja steak.
Comments
Post a Comment